Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori belajar Konstruktivistik dan implikasinya dalam pembelajaran

Setelah sebelumnya kita membahas tentang teori Behavioristik dan teori Kognitif, nah pada pembahasan kali ini kita akan mengulas tentang Teori Konstruktivistik.

A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Konstruktivistik

Teori belajar konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui (Schunk, 1986). Dengan kata lain, karena pembentukan pengetahuan adalah peserta didik itu sendiri, peserta didik harus aktif selama kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri. 

Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.

Ciri-ciri belajar konstruktivisme yang dikemukakan oleh Driver dan Oldhan (1994) adalah sebagai berikut:

  1. Orientasi, yaitu peserta didik diberik kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan observasi.
  2. Elitasi, yaitu peserta didik mengungkapkan idenya denegan jalan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain.
  3. Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.
  4. Penggunaan ide baru dalam setiap situasi, yaitu ide atau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.
  5. Review, yaitu dalam mengapliasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah
Paradigma konstruktivistik memandang peserta didik sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. 

Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;

  1. Menumbuhkan    kemandirian    dengan    menyediakan    kesempatan    untuk megambil keputusan dan bertindak.
  2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik.
  3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar peserta didik mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik.

Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa. 

Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.

Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa peserta didik akan dapat menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu peserta didik mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?

Evaluasi belajar pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. 

Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar peserta didik.

Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.

Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik (Siregar & Nara, 2010), yaitu: diarahkan pada tugas- tugas autentik, mengkonstruksikan pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi, mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan mengarhkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

a) Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)

Lev Vygotsky merupakan tokoh dari teori belajar konstruktivistik yang menekankan bahwa manusia secara aktif menyusun pengetahuan dan memiliki fungsi-fungsi mental serta memiliki koneksi social. Beliau berpendapat bahwa manusia mengembangkan konsep yang sistematis, logis dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang yang dianggap ahli disekitarnya. Jadi dalam teori ini orang lain (social) dan bahasa memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif manusia.

Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori oleh Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri). Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang.

Inti dari teori belajar konstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.

Dengan kata lain bahwa peserta didik itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lag. 

Teori belajar ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. 

Teori belajar ini meliputi tiga konsep utama, yaitu:

  1. Hukum genetik tentang perkembangan
  2. Zona perkembangan proksimal dan
  3. Mediasi.
Untuk lebih memahami tentang kajian tersebut mari kita kaji satu persatu.

1. Hukum Genetik tentang Perkembangan

Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran sosial dan tataran psikologis. Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang bersangkutan. Teori ini menenpatkan lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, lingkungan sosial dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.

2. Zona Perkembangan Proksimal

Zona Perkembangan Proksimal atau Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar kokonstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. 

Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu.

Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran (Schunk, 1986), yaitu :

  • Tahap 1: Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
  • Tahap 2: Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
  • Tahap 3: Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
  • Tahap 4: Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.

3. Mediasi

Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. 

Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, 

  1. Tema mediasi semiotik di mana tanda- tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan;
  2. Scafholding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.

Berdasarkan teori Vygotsky dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:

  • Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
  • Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
  • Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
  • Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
  • Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi
Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. 

Prinsip-prinsip utama teori belajar konstruktivistik yang banyak digunakan dalam pendidikan adalah; 

  1. Pengetahun dibangun oleh peserta didik secara aktif,
  2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada peserta didik,
  3. Mengajar adalah membantu peserta didik, 
  4. Tekanan dalam proses belajar dan bukan pada hasil belajar,
  5. Kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik dan 
  6. Guru adalah fasilitator. 
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar konstruktivistik, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. 

Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan dimana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.

B. Implikasi Teori Belajar konstruktivistik dalam Pembelajaran

Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa implikasi teori konstruktivistik jika dikaitkan dengan pembelajaran proses pembelajaran modern adalah berkembangnya pembelajaran dengan web (web learning) dan pembelajaran melalui social media (social media learning). Smaldino, dkk (2012) menyatakan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak mengalami perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif baru dalam pembelajaran.

Pembelajaran dengan social media memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi dan pemikiran secara bersama. Sama halnya dengan pembelajaran melalui social media, pembelajaran melalui web juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melengkapi satu atau lebih tugas melalui jaringan internet. Selain itu juga dapat melakukan pembelajaran kelompok dengan menggunakan fasilitas internet seperti google share. 

Model pembelajaran melalui web maupun social media ini sejalan dengan teori konstruktivistik, dimana peserta didik adalah pembelajar yang bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya.

Beberapa implikasi teori konstruktivistik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

  • Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian- bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas
  • Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide peserta didik
  • Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber- sumber data primer dan manipulasi bahan
  • Peserta didik dipandang sebagai pemikir-peikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
  • Pengukuran proses dan hasil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal- hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
  • Peserta didik-peserta didik banya belajar dan beerja di dalam group proses
  • Memandang pengetahuan adalah non objektif, berifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
  • Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali makna
Demikian sekilas pembahasan tentang Teori belajar Humanistik dan implikasinya dalam pembelajaran “Pengertian Belajar Menurut Teori Belajar Humanistik”.